You Are My Reason
14 March 2017
11
Sabtu.
Hari ini aku mengira akan mengalami hari tersuntuk yang luar biasa. Aku tidak
bisa bertemu dengan Mika hari ini. Akan melalui hari-hariku seorang diri dan
hanya bermalas-malasan dikos-anku yang lebarnya tidak seberapa itu sembari
mengutak-atik handphone ku.
Previous : Tommy
Ternyata
Mika menghubungiku via BBM.
Mika:
“lagi ngapain Ca?”
Caca:
“ga lagi ngapa-ngapain
ni. Suntuk aja. Mika lagi apa?”
Mika: “Mika juga ga lagi
ngapa-ngapain. Lagi main sama Toto dan Tata aja.”
Caca:
“hmm enak ya..”
Mika:
“Caca uda makan?”
Caca:
“belum, lagi ga
selera. Mika sendiri uda makan?”
Mika:
“belum juga Ca. Ya
uda yoo kita makan bareng.”
Caca:
“beneran? Bole aja.”
Mika:
“ya kalo Caca mau.”
Caca:
“ok. Bole. Caca
siap-siap dulu ya.”
Mika:
“iya Ca. Ntar Mika
jemput ya.”
Aku
dan Mika makan siang di warung nasi padang sederhana dan rasanya nikmat sekali.
Dia menghabiskan makan siangnya dengan lahap.
“Caca
uda enakan?” tanya Mika.
“uda,
alhamdulillah. Padahal pagi kemarin sempet meriang tapi siangnya langsung
enakan. Hehehe”
“sukurlah.
Hehehe”
Setelah
makan siang, Mika mengajakku duduk di taman sambil minum es kelapa. Sederhana
dan mengesankan. Rasanya begitu nyaman.
Mika
bercerita panjang lebar.
“dulu
Mika pernah suka sama cewe dan akhirnya pacaran, awalnya hubungan itu berjalan biasa
aja. Itu waktu Mika masih sekolah dulu. Sekolah Menengah. Kemudian dia cerita
kalo dia sakit parah seakan-akan umurnya uda ga panjang Ca. Dan dia ingin
mengakhiri hubungan kami. Mika disitu bener-bener bingung Ca. Gimana coba,
sesuatu yang uda mau lepas tapi Mika coba untuk megang itu kuat-kuat. Dan
berharap ikatan itu tidak pernah lepas. Sampe ada niatan Mika untuk nikahin dia,
padahal Mika masih sekolah. Mika jadi over
protective banget Ca. Sampai akhirnya dia jujur kalo sebenernya dia ga
sakit apa-apa. Dia cuman tidak ingin bersama Mika lagi. Mika ngerasa dikhianatin
banget Ca. Mika juga pernah ngerasain kaya gitu Ca.”Aku memerhatikannya
lekat-lekat. Sesaat aku melamun. Dalam hati aku berkata
‘ya
tuhan bisakah aku memiliki laki-laki yang ada dihadapanku saat ini? Apakah aku
egois jika aku menginginkannya? Dia begitu baik. Apa Aku telah jatuh hati padanya? Ya tuhan jika dia memang
takdirku pertemukanlah kami, namun jika dia bukanlah takdirku hilangkahlah rasa
ini untuknya. Namun jika hamba boleh meminta izinkanlah hamba untuk
mencintainya mohon dengan sangat. Mohon dengan sangat.’
Mataku
mulai berembun. Dadaku sedikit nyeri. Tenggorokanku kering. Rasanya sedikit
perih.
“Kenapa
Ca?” tanya Mika khawatir.
“Ga
kenapa-napa Mik. Cuma kelilipan.” Aku memalingkan pandangan dan menyeka air
mataku. Kemudian hatiku lanjut bercerita.
‘Mika seandainya kamu
tau, apa kamu masih ingin bertemu denganku?’
Kemudian
aku ikut bercerita masa laluku. Masa lalu kelamku. Masa sakitku. Dimana aku
hanya berteman dengan air mata dan lagi-lagi air mataku mulai tumpah. Dan aku
bertanya pada Mika ...
“Mik,
sebenernya apa siih alasan laki-laki ngajak pacaran? Apa ketika mereka suka mereka
akan bilang suka?Kemudia jadian, terus kalo uda bosan, tinggalin aja gitu?
Sebenernya apa tujuan begitu? Apa mereka ingin memilih? Tapi bukankah perempuan
juga berhak memilih dan lagi tidak bisakah jika memang dia ga jadi pilihan
seengganya dia bisa menerima segala kekurangan dan kelebihan masing-masing?
Salah ga siih pemikiran kaya gitu? Dan lagi Caca bingung Mik, gimana siih cara
laki-laki mutusin kalo ‘kamulah jodohku’?” air mataku sudah tidak terbendung.
“Ca.
Ga apa-apa? Kalo mau nangis jangan ditahan. Ga apa-apa koo.” Mika menggenggam
tanganku hangat.
“Ga
apa-apa Mik. Caca kuat koo. (kamu yang uda
membuatku menjadi kuat Mik. Kamulah alasan bagiku kenapa aku bisa bertahan
sampai dengan sekarang. Kamu bisa melihatku?)”
“Kalau
Mika pribadi, Mika ga suka main-main Ca sebenarnya. Tujuan Mika ya inginnya
kalau memang pacaran ya niatan untuk cari pendamping hidup juga. Jadi ibu dari
anak-anak Mika. Dan Mika ga mau terburu-buru soal itu”. Mika tersenyum getir
melihatku.
Kami
menghabiskan sore itu dengan cerita pahit tanpa Mika tahu muncul tokoh baru
yang secara tiba-tiba.
to be continued . . . .