Secangkir Kopi Pahit
30 May 2017
Aku menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas agar sebisa mungkin tidak ada celah untuk orang itu muncul di kepalaku. Aku bekerja. Aku menggambar. Aku menulis. Aku membaca. Aku belajar main gitar. Aku melipat bintang-bintang origami. Aku bermain bermacam-macam rubik. Sehingga benar-benar tidak ada waktu untukku melamun.
Tari yang tau kejanggalan yang aku lakukan mengajakku untuk berhenti sejenak. Tari mengajakku dan teman lainnya nongkrong di sebuah coffee shop. Mereka adalah Tama, Mei, Tio dan Awan. Aku mengikuti ajakan Tari. Tetapi aku tidak bisa berlama-lama, karna Mas Tommy mengajakku makan malam. Dan aku sudah mengiyakannya.
Previous: Perahu Usang
Tio membuat lelucon bersama dengan lainnya. Dia memang sosok orang yang selalu ceria. Tetapi aku tidak yakin apa dia baik-baik saja. Ntahlah. Sering kali aku melihat orang yang seperti itu justru merasa sangat kesepian. Namun aku hanya ikut tertawa dan tidak menanyakan apapun apa yang sedang dia pikirkan.
Di tengah asyiknya obrolan, tiba-tiba Mika muncul. Aku benar-benar ga tau kalau Mika bakalan nyusul. Dia menyalami kami satu persatu termasuk aku yang terakhir. Aku meraih uluran tangan itu. Terasa dingin dan sedikit bergetar. Kemudian diapun terdiam, begitupun denganku.
Tama yang mengetahui kondisiku dan Mika mencoba mengajakku ngobrol, menanyakan tentang Mas Tommy.
“jadi gimana Ca, jadi ntar malam keluar sama Mas Tommy?” tanya Tama setengah berbisik.
“iya” anggukku lemas.
“semangat dong Ca” ucap Tama.
“Iya Tam, tapi Caca takut. Mas Tommy pernah menanyakan tentang nikah dan Caca diam aja” jawabku lesu.
Aku tersentak ketika Mei tiba-tiba bilang ...
“hiiii, ngeri banget pembicaraan mereka, ngomongin nikah, hahaha” Mei tertawa.
Mika sontak melihat kearahku. Aku jadi salah tingkah dan hanya terdiam, memandangi ke arah Tama. Tama hanya mengisyaratkan dengan matanya yang mungkin berarti “tidak apa-apa Ca”. Kemudian selang beberapa menit aku pamit pulang pada semuanya. Aku bergegas pulang dan meninggalkan semuanya.
to be continued . . .