Sial yang Varokah!

39

Sial yang Varokah!
Sial yang Varokah!

Cahaya mulai matahari menyinari kamarku. Memaksaku bangkit dari selimut dan tempat tidurku yang hangat. Aku terbangun mendengar keriukan cacing-cacing di perut. Dengan malasnya aku menuju dapur dan membuka lemari es. Ku raih selembar roti dan selai coklat kesukaanku dan tak lupa segelas susu coklat hangat. Aku menyantapnya dengan lahap. Kemudian aku pun mandi dan bergegas berangkat kerja. Aku sedikit terburu-buru. 

Sore..

“yeey. Waktunya pulang”. Aku ingin cepat-cepat pulang pikirku. Badanku terasa lelah sekali. Pikiranku terus tertuju kamarku ingin merebahkan badanku yang mulai gemulai bak mawar yang layu.
Tetapi sesampainya dirumah. . .

“lho... lhoo... mana.. mana kuncinya. Huaa” aku membongkar seluruh isi tasku. Tak juga kutemukan. Ternyata aku kelupaan membawa kuncinya. Aku menghubungi adikku. Sialnya handphonenya ga aktif. Jalan terakhir aku menulis sebuah ‘pm’ berharap seseorang dapat menghubungi adikku. Dan Mika mengomentari dengan ejekannya. Aku duduk terdiam di depan pintu rumah seperti seorang gelandangan sambil menunggui adikku pulang. Harapan untuk berbaring sirna sudah.

Aku benar-benar kaget tiba-tiba Mika muncul di depanku. Kontan akupun tertawa. Wajahku mulai bersemu. Aku masih tidak percaya dengan sosok yang ada di depanku saat ini. 

“lho Mika ngapain” aku masih terus tertawa. 

“ayo” ajaknya terlihat malu-malu. 

Tanpa pikir panjang aku pun ikut dengannya. Dia mengajakku ke sebuah cafe dan menghabiskan waktu di cafe tersebut. Aku menemukan bubble wrap dan meraihnya kemudian memecahkannya satu persatu. Mika tertawa melihat kekonyolanku.

“mau lagi?” tawar Mika. 

“hehehe” aku hanya tertawa dan Mika ikut memecahkannya dan sesekali aku menyeruput ice chocolate milikku. Rasanya identik dengan rasa manisnya dan sedikit pahit. Namun rasa pahit itu tertutup oleh dinginnya es yang segar. Nikmat sekali. 

Aku memerhatikan gerakan bibir Mika, mata, dan alisnya. Matanya berbinar ketika bercerita. Aku suka mendengar apapun yang keluar dari mulutnya. Aku sama sekali tidak bertanya kenapa Mika pernah menjauhiku? Pertanyaan itu kusembunyikan dalam-dalam. Justru aku mengkhawatirkannya jika aku bertanya tentang hal itu dan Mika akan kembali pergi. Dan aku akan kehilangannya lagi. Aku takut jika hal itu kembali terjadi karna itu akan membuatku merasa sendiri dan kesepian. Aku hanya berharap ini tidaklah berakhir begitu saja. 

Tanpa terasa azan magribpun berkumandang...

“sebentar ya Ca, Mika tinggal. Mika mau liat ada ga mukena buat caca” pamit Mika. Aku mulai tersentuh Mika begitu perhatian. 

“Iya Mik. Makasih ya”
Kami melaksanakan solat magrib. Selepas solat Mika mengajakku ke terminal. Mika hendak mengirim paket ke keluarganya di kampung. Sepanjang jalan aku melihat lalu lalang mobil dan beberapa motor dengan cahaya bulan yang terang. 

“bagus ya Ca bulannya”

“iya” senyumku.

PreviousPerasaan Apa Ini?

To be continued . . .

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel