Can't You See Me?

50

Can't You See Me?
Can't You See Me?

Hari ini teman-temanku datang ke ruangan. Mereka sedang mengurusi berkas-berkas wisuda. Aku tidak menyangka kalau Mika juga akan datang. Karena aku sama sekali tidak tau kabar Mika. Aku tidak berani menatapnya. Konyol sekali. Setelah apa yang kami lalui, sekarang hanya untuk menyapanya saja aku tidak berani. 

Hari ini Aku dan Tari juga berpuasa. Kami berencana untuk buka puasa bersama. Tama juga ikut menemani. Lagi-lagi aku sama sekali tidak tau kalo Mika juga akan ikut bersama kami. Aku tidak pernah mengaharapkan apa-apa lagi. Aneh, pikirku. Bukankah tadinya dia sedang menghindariku kenapa malah ikut, pikirku? Kami kembali berempat kala itu. 

“kaya ada yang aneh ya” lirik Tari ke arahku. 

“iya ni, tegang banget suasananya” sambung Tama. 

Aku dan Mika hanya terdiam. Aku lebih banyak menunduk dan termenung. Kuhabiskan makananku. Berharap untuk cepat-cepat pulang. Walaupun sesungguhnya aku sangat merindukannya. Aku tidak berani menatapnya. Namun nyatanya malam itu Mika yang harus mengantarku pulang karena Tari dan Tama hendak jalan-jalan terlebih dulu. Aku tidak tau apa yang mereka rencanakan. 

Sepanjang jalan aku hanya terdiam di belakangnya. Aku memerhatikan punggungnya. Sudah lama aku tidak melihatnya. Berada di belakang punggung mungil itu. Rasanya begitu nyaman. Tapi sangat berbeda malam ini, aku merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke ubun-ubun. 

Sesampainya di rumah aku berpamitan dan segera ingin masuk pikirku. 

“Makasi Mik” pamitku berlalu meninggalkan Mika. 

“Ca..” panggilnya tiba-tiba. 

“Hmmm, kenapa Mik?” aku berbalik.

Mika terlihat begitu pucat dan nafasnya tidak beraturan. Berulang kali dia menarik nafasnya yang terasa begitu berat. Aku sempat kebingungan mengernyitkan alisku heran. 

“Mika mau ngomong” akhirnya. 

“Hmm. Ngomong apa? Ngomong aja. Mau ngomong di sini atau di luar?” tanyaku pelan. 

“di sini aja Ca...”  Mika kembali menarik nafas dalam-dalam. 

“Hmm?” aku khawatir melihatnya begitu kesakitan sepertinya. 

“Mika minta maaf ya Ca”.

“Maaf? Maaf knapa? Mika ga ada salah apa-apa sama Caca” tanyaku semakin heran. 

“Mika salah. Mika uda nyakitin Caca. Mika minta maaaaaaaf banget Ca. Caca tau kan selama ini Mika datang terus menghilang gitu aja” Mika mulai berbicara lancar. 

“iya ga apa-apa Mik. Caca ga marah koo. Caca ngerti” jawabku sekenanya.

“sebenarnya Mika suka sama Caca, rasanya sehari ga ketemu Caca kaya ada yang kurang” desiran angin tiba-tiba menghentikan nafasku seketika. Hawa yang begitu dingin dan senyap seolah-olah langitpun mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Mika. Mika terlihat begitu tertekan saat mengucapkan kalimat itu. Dia kembali menarik nafasnya dalam-dalam. Suasana begitu sendu. Aku hanya diam dan kembali mendengarkan. 

“Tapi maaf Mika ga berani ngasi kepastian ke Caca”. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Mika. Aku ga tau harus berekspresi seperti apa. Haruskah aku senang ataukah sedih. Ntahlah. Aku lebih memilih diam dan mendengarkan semua keluh kesahnya. 

“Mika ngerasa uda nyakitin Caca. Mika ga pernah berani ngasi harapan ke Caca. Takut itu akan menyakiti Caca. Sejak awal niat Mika deketin Caca memang untuk hal serius. Dan Mika sama sekali ga deketin siapapun selain Caca. Yang lainnya Mika cuma anggap mereka teman. Tapi di tengah jalan Mika takut. Mika sering lihat Caca ngelamun. Bukannya dulu Mika sudah pernah nanya kalo Caca kaya gitu terus siapa yang bakalan semangatin Mika? Caca inget? Mika berharap Caca lebih ceria. Tapi Mika jahat, Mika sudah berharap Caca begini padahal Mika belum bisa ngasi Caca apa-apa. Bahkan untuk ngurusin diri sendiri aja Mika belum bisa. Dan maaf Mika ga bermaksud menggantungi Caca. Mika juga minta maaf kalo caca harus nolak orang itu demi Mika. Mika ga mau Caca nunggu Mika”.

Wajah Mika terlihat begitu sendu. Sedih. Matanya berkaca-kaca. Mika makin terlihat begitu pucat. Aku ingin menangis mendengar ucapannya. Bibirku mulai bergetar. Dadaku terasa perih. Hanya saja aku tetap tersenyum untuk menguatkan Mika bahwa aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Dan mencoba mulai angkat bicara...

“Caca ga pernah tersakiti kalo Mika juga ga nyakitin diri sendiri. Caca nunggu Mika bukan untuk hal sia-sia. Caca uda menyiapkan diri seandainya hal-hal yang Mika takuti itu terjadi. Caca seneng-seneng aja, sambilan kita menunggu kita bisa mempelajari pribadi masing-masing. Dan kalo memang di tengah jalan Mika bosan dengan Caca, Mika bisa lepas dari Caca kapan aja. Caca ga ngikat Mika ntuk ngapa-ngapain. Mika bebas mau ngapain aja. Caca ga butuh status apapun. Caca juga ga berharap Mika menjadi sempurna. Caca ga ngarepin apa-apa. Bukan itu yang Caca mau. Caca cuma mau bahagia. Dan jujur selama berada di samping Mika, Caca sangat sangat bahagia. Caca ga masalah Mika gantungin Caca. Kalo memang Cuma ada Caca di hati Mika. Caca ga perlu ikatan pacaran, Caca hanya ingin bisa melihat senyum Mika. Dan justru di saat Mika jauhin Caca itulah yang membuat Caca sakit. Caca cuma berharap Mika ga pernah bohongin diri sendiri. Dan menjadi diri Mika sendiri itu adalah hal yang paling istimewa buat Caca. Caca ga pernah mandang Mika dari sudut manapun. Justru kekurangan Mika menjadi kesenangan tersendiri buat Caca. Dan tolong berhenti berusaha menjadi orang jahat seperi yang Mika cerita. Bagi Caca Mika itu terbaik. Dan di dunia ini ga ada yang sempurna. Dan kalo soal lamunan Caca, percaya deh itu memang kebiasaan Caca yang aneh karna ga tau mau ngomong apa. Satu lagi kalo soal orang itu mungkin Mika uda banyak dengar cerita dari Tari ataupun Mei. Walaupun kata orang cinta itu bisa datang belakangan, tapi Caca ga bisa Mik. Caca nolak orang itu bukan karna Mika, tapi karna memang Caca belum yakin apa-apa untuk orang itu. Caca ga bisa. Mika masih inget? Waktu Caca magrib-magrib nge BM Mika yang Caca lagi di rumah orang tua Caca. Dan waktu Caca buat pm wanna cry, sampai Caca uda mau balik kota Caca masih tetep nangis mikirin Mika walopun Caca ngaku ke Mika Caca lagi homesick.  Itu Caca sedang nangis, karna orang itu habis dari rumah Caca. Dan Caca menghubungi Mika karna Caca ingin di hibur Mika. Dan bodohnya Caca, Caca malah berfikir kalau Caca lah yang sudah menyakiti Mika”. Suaraku bergetar saat aku menuangkan semua yang ada di pikiranku. Mataku mulai basah. Aku berusaha untuk tetap tegar dan tidak menangis.

“tapi Caca terlalu berharap lebih sama Mika” Mika masih terlihat lesu dan mulai berkeringat. 

“engga Mik. Biarkan waktu yang membawa harapan itu. And please jangan jauhin Caca kalo itu menyiksa diri Mika. Do what you want to do. Caca ga mencari kemewahan. Kesederhanaan itu uda sempurna bagi Caca. Segala kemungkinan terburuk itu memang ada. Tinggal kitanya yang menyikapi gimana. Can’t you see me clearly? Jangan takut Mika. Caca insyaAllah selalu ada buat Mika ntuk ngebantu Mika memilih jalan dan bersemangat. Caca ga apa-apa koo. Caca ga pernah marah sedikit pun sama Mika. Ga pernah.”

Malam itu terasa begitu panjang. Aku benar-benar ga tau harus senang ataukah sedih. Aku senang di saat Mika mengakui perasaannya. Tapi aku juga takut ketika dia minta maaf atas ketidakpastian yang dia beri. Namun aku sama sekali tidak menyesal atas keputusanku. 

Banyak orang yang beranggapan aku perempuan bodoh. Aku lebih memilih sakit dari pada aku harus kehilangan senyum itu. Terserah orang menganggapku bodoh atau apa. Tapi inilah jalan yang ku pilih. Inilah konsekuensi yang harus aku terima dari keputusanku sendiri. Bahwa sewaktu-waktu aku pasti akan tersakiti lagi dengan harapanku sendiri dan bisa jadi Mika kembali menghilang lagi dan lagi bahkan untuk selamanya. 

Namun untuk saat ini aku bahagia Mika sama sekali tidak pernah menjauhiku lagi. Aku melewati hari-hariku dengannya penuh dengan canda. Walaupun aku tidak pernah bisa mengatakan “i miss you” “aku ingin bertemu” namun inilah perasaanku. Pain its just a consequence of love, inilah sepenggal kata dari lirik my everything yang membuatku selalu bertahan. Dan inilah pilihanku. Sederhana. 

Aku hanya tetap berada pada posisiku. Jika Mika memilih untuk melihat ke belakang, aku masih berada pada posisiku dan tidak akan pernah pergi. Namun jika Mika memilih untuk terus maju, mungkin aku tidak akan berada disana. Dan aku tidak berharap Mika akan melihat ke belakang. Biarlah Mika memilih jalannya sendiri. Aku hanya perlu membanjiri hari-hariku dengan doa-doa kecil. Agar Tuhan dapat menerangi jalanku. 

Dan Mas Tommy sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi. Maafkan aku Mas jika aku pernah menjadi alasan yang membuat Mas kecewa. Sejujurnya, mungkin jika Mas Tommy datang di waktu yang berbeda, cerita ini akan berbeda pula. Dan sejujurnya jika Mas Tommy bisa sedikit menungguku mungkin aku akan memiliki cerita yang berbeda. Aku ingin Mas Tommy masuk ke kehidupanku dengan cara yang berbeda. Karena aku juga ingin melihatnya memperjuangkanku jika memang Mas Tommy bersungguh-sungguh. Tentu saja aku akan menantikan hal itu. Tapi mungkin takdir berkata lain. 

Aku juga benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranku sendiri. Berulang kali sudah dijauhi namun aku tetap bertahan pada rasa yang sama. Padahal jelas-jelas aku tahu bisa saja Mika akan kembali meninggalkanku bahkan untuk selamanya. Hanya saja aku tetap ingin bertahan walaupun aku harus menyembunyikan perasan ini, seorang diri. 

Harapanku hanya satu,  aku tidak ingin kehilangan senyum dari pemilik bola mata coklat itu.


previous: 2 weeks later

The end

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel