Jingga yang Menyedihkan

4

Besoknya....

“Mika ga capek?” tanyaku. Mika baru tiba datang menjemputku.

“Capek kenapa Ca?”

“yaa, Mika kan tadi sebelum ngejemput Caca, Mika ke acara dulu, terus pulang dari situ langsung kemari ngejemput Caca. Kan jauh Mik, memangnya Mika ga cape?”.

“Hahaha, ya ga la Ca. Kan pake motor bukannya jalan kaki” candanya.

“Iya sih Mik, tapi Caca ngerasa bersalah liat Mika kecapean”.

“Hehehe ga koo Ca. Uda jangan mikir macam-macam, yoo jalan”.

Aku duduk terdiam di belakang motornya. Dan sesekali menanyakan...

“Mika ga kepanasan pake baju itam?”

“.......”

Aneh. Mungkin aku terbiasa bertanya seperti itu. Dan aku ga tau kalo itu aneh bagi orang lain.

“Ca kita jumpain temen Mika dulu bole?”

“Bole Mik, silahkan”.

“Ok, kita berenti di sini dulu ya”.

“Iya, Caca tunggu di parkiran aja ya”.

“Ga apa-apa Ca, ayo ikutan aja yoo”.

“Ga apa-apa ni?”

“Ga apa-apa Ca”.

“Ok deh”.

 Aku mengikuti langkah-langkahnya Mika, aku melihat punggung Mika di hadapanku saat ini. Mungil namun tegas. Kami menemui teman-temanya Mika. Dan aku dikenali ke teman-temannya Mika. Aku ga pernah ngerasa kaya gini. Seingatku waktu dulu aku jalan dengan mantanku, dia tidak pernah mau beriringan denganku apalagi mengenaliku ke teman-temannya. Tapi bersama Mika, dia membuatku benar-benar seperti wanita dan sangat menghargaiku.
Previous : Tari Si Mak Comblang Gagal
“Siapa ni Mik, calonmu?” tanya teman Mika tanpa basa-basi. Aku tersipu malu. Begitu juga dengan Mika.

“ooh bukan mbak, ini temen Mika. Kami rencananya mau ke pantai liat sunset”.

WHAAAT???ngapain Mika cerita pikirku.

“ooh, teman tapi mesra ya” godanya. Duh lagi-lagi mukaku memerah.

“ayo diminum Ca tehnya”.

“iya mbak, makasi”.

“Dia ini banyak malunya mbak” tegas Mika.

Aku semakin salah tingkah karna ucapan Mika. Mereka melanjutkan pembicaraan serius mereka. Dan aku hanya memangku diam memperhatikan Mika dan Mbak Tara. Aku melihat sosok yang berbeda dari Mika hari ini. Dia berbicara begitu dewasa dan terlihat begitu wibawa. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Sesekali aku melihatnya mengelap keringat dan menghabiskan minumannya. Mungkin dia begitu lelah, pikirku.

“Ok Mbak. Kami pamit dulu ya, terimakasih untuk hari ini” pamit Mika.

Dan kami melanjutkan perjalanan kami ke pantai, Aku membayar tiket masuk sekitar Rp. 6000 untuk 2 orang.

“Lho, koo bayar 6000 Ca? Kenapa ga 5000 aja?” tanya Mika.

“Lah, bukannya memang 6000 yak?” jawabku polos.

“besok-besok kasi 5000 aja. Ga usa jujur-jujur banget Ca” dia mengguncang-guncang motornya sambil tertawa. Akupun ikut tertawa.

Setibanya kami di pantai, Tari dan Tama sudah menunggu. Mereka sudah lebih dulu tiba. Mereka terlihat ingin menggoda tetapi aku sudah mempelototi mereka untuk menghentikan niat busuknya. Ehehe.

Aku memesan es kelapa begitupun Mika.

“Eh Ca, cobain deh. Kayanya es kelapanya uda dioplos yak?” sodor Mika.

“hmm.  Mungkin memang uda ga manis dari sananya” jawabku.

“oh iya ya kita ga  bole suudzon yak...”

“Mika ini apa-apa Caca” ejek Tari.

“Iya dong Tar” sambung Tama.

Duuh mereka memang paling resek kalo uda gangguin kami. Akupun hanya bisa tertawa.

“Yoo kita selfie dulu” ajak Tari.

“ayo ayo” semangat Tama.

Mika menyodorkan tongsisnya ke Tari dan meminjam handphoneku. Setelah berfoto-foto berempat tiba-tiba Mika hanya mengambil foto kami berdua. Aku tertunduk malu. Kemudian Mika meninggalkan kami pamit hendak berenang.

“ Caca Caca” panggil Tama dengan irama seperti menirukan host Sule di acara Ini Talkshow.

“Iya iya” jawabku serupa.

“ini tongsis bisa dijadiin apa aja ya?” tanyanya garing.

“Bisa dijadiin pancingan, buat mancingin hati kaamuuu” jawabku spontan.

Tawapun meledak. Aku ga sadar kenapa aku mengeluarkan lelucon konyol itu yang justru membuatku terpojok karenanya. Aku malu. Malu banget.

“ntar jawab gitu lagi ya kalo kami tanya di depan Mika”

“ogaaah!!!” bantahku. Mukaku masih merah seperti tomat busuk. Malu!

Mika pun kembali dari renangnya.
“eh Mik, tadi kaya ada seseorang yang perhatiin lo banget deh. Kaya takut lo tenggelam gitu” ucap Tama tiba-tiba dan melirik ke arahku.

“siapa?” tanya Mika polos sambil melirik ke arahku juga. Aku hanya menunduk malu.

“ada deeeh” jawab Tari menggoda.

“eh Ca, tongsis ini bisa dijadiin apa aja ya?” tanya Tama.

Aku tersentak kaget. Ga nyangka Tama beneran nanya gitu. Tama dan Tari saling berpandangan dan menahan tawa melihatku. Aku benar-benar terpojok. Aku ga tau harus gimana.

“ Hmm ntah” jawabku singkat.

“alaah tadi jawabannya bukan itu” rengut Tama.

“Memangnya tadi Caca jawab apaan?” tanya Mika.

Duuh rasanya aku ingin pergi saja “ga jawab apa-apa Mika. Orang ini  aja yang suka lebay” jawabku membela diri.

“engga lho Mik, tadi Caca jawabnya gini” bantah Tama sambil menggerak-gerakkan tongsis menjadi pancingan.

“pancingin apa tadi Ca?”  sambung Tari.

“ah au ah, gelap” belaku lagi.

Tawapun meledak. Mika masih kebingungan dan hanya ikut tertawa saja tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi. Hari semakin gelap.

“eh jalan yoo” ajakku.

“ayo ayo” semangat Mika.

Kami pun berjalan menyusuri pinggiran pantai. Tama dan Tari jalan beriringan. Begitu juga denganku. aku jalan beriringan bersama Mika. Aku senang. Terlalu senang. Aku ga pernah jalan beriringan seperti ini dengan mantanku.

“liat itu deh Ca. Bagus ya” tunjuk Mika ke arah matahari yang hampir tenggelam.

“iya bagus banget. Foto foto. Fotoin Mik” pintaku.
“iya sini Hp nya”

Aku menyodorkan handphoneku. Kemudian Mika mengambil beberapa foto sunset dan fotoku diam-diam.

“Ca duduk dulu” Mika menunjuk sebatang kayu yang tergeletak di pinggir pantai dan memintaku duduk bersamanya.

“Iya” jawabku mengangguk.

“bagus banget ya Ca sunsetnya”

“Iya Mik, Caca ga pernah liat sunset pinggir pantai gini. So ramantic. Ombaknya juga begitu tenang. Tapi warna sunset begitu menyedihkan ya. Jingga. Sampai kapan ya Caca bisa liat sunset gini?” renungku memerhatikan si lampu dunia yang mulai tenggelam dan riuh ombak yang ikut tenang memerhatikannya. Gelombang dan rasa sakit yang ada di hatiku juga ikut surut menenggelamkan semua amarah yang pernah aku derita.

Mika hanya tersenyum menatapku. Hening. Bulan mulai bersinar menggantikan posisi matahari yang enggan menunjukkan cahayanya kembali. Hari sudah benar-benar gelap kamipun bergegas pulang. Aku termanggu di atas motornya Mika. Dan sesekali bertanya....

“Mika ga masuk angin abis berenang tadi? Mika ga capek?”

Dia hanya tertawa mendengar pertanyaanku dan memandang bulan yang terus mengejar kami.

“bulannya terang banget ya?” celutukku

“iya, bulan purnama ya ini namanya?” Mika balik bertanya.

“mungkin” jawabku singkat. 

are you ok Mik? Ga capek?” lanjutku.

i’m ok maximal Ca. Hehehe jangan kuatir”.

“iya abisnya Caca kasian liat Mika kaya cape gitu hehe”.

Mika memukul-mukul punggungnya sendiri saat tiba di persimpangan lampu merah.
“Mika pegel ya?”

“lumayan Ca”.

Ingin aku memijit punggungnya tapi tanganku berhenti seakan tak pernah sampai untuk menyentuhnya. Kubiarkan saja dia memukul-mukul punggunggnya sendiri. Sesampainya di rumah....

“Makasih banyak ya Mik”.

“Sama sama Ca. Mika balik ya.”

“iya Mik. Hati-hati ya. Bye...”

Kakiku melangkah menuju pekarangan rumah. Setiap langkah yang aku buat mengalirkan irama yang berbeda. Hentakan kakiku terdengar seperti dabuhan drum yang dipukul. Gesekan sepatu terdengar seperti gitar yang dipetik. Batu-batu kecil terlihat ikut menari bersamaku.

Sumpah! Lebay gila.
Next : Ternyata .....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel