Jarak Kebahagiaan dan Kesedihan Itu Hanya Berkisar Antara Bola Mata Hitam dan Putih

24

Mika sudah tidak pernah menghubungiku sama sekali. Tidak juga datang ke kantorku. Aku sangat merindukannya. Aku berfikir Mika tidak akan pernah ke kantorku lagi. Aku akan sangat kesepian tanpa cerita darinya lagi. Tanpa tatapan bola mata coklat itu lagi. Aku benar-benar menunggunya. Pikiranku terus dipenuhi olehnya. 

Tanpa sepengetahuanku orang yang aku tunggu-tunggu telah tiba. Mika datang. Mika datang bersama temannya. Walaupun tidak datang untukku. Aku sudah cukup senang bisa melihatnya. Seengganya aku tau kalo dia baik-baik saja. 

Previous: Yakinkah Aku?

Mika menyapaku. Dia terlihat begitu girang. Aku membalas senyumnya tetapi tak bisa kupungkiri, hatiku sedih. Seperti ada jarak antara aku dan Mika. Aku ga bisa apa-apa.Tanpa kusadari air mataku sudah memenuhi pelupuk mata. Rasanya sangat sesak. Rasa yang bercampur aduk memenuhi dadaku. Ku sembunyikan rasa sedihku di depannya. Aku tidak ingin Mika melihatku begini. Hatiku terus mencerca, kenapa Mika berubah? Aku tak kuasa menahan air mataku. Sedikit demi sedikit mulai tumpah dan aku terus menyekanya. Sebisa mungkin aku bersikap tegar. 
Aku mendesah. . . .

“Mika... seandainya kamu tau aku ingin memilihmu. Seandainya aku sudah di genggaman Mas Tommy, apa itu ga akan menyakitimu? Aku ga mau kamu tersakiti Mik. Sebenarnya apa yang kamu rasakan? Kenapa kamu menjauhiku? Mika... tell me something i don’t know”.

Air mataku terus berjatuhan. Aku menunduk dan aku semakin larut. Pikiranku kalut. Tiba-tiba Mika melirik ke arahku, aku tau itu. Aku meliriknya kembali dan Mika mengalihkan pandangannya. Kenapa?Kenapa Mika melihat ke arahku? Dan kenapa dia mengalihkan pandangannya? Aku semakin bingung. Apakah aku yang terlalu percaya diri bahwa Mika menyukaiku? Mungkin saja Mika hanya menganggapku teman atau bahkan tidak sama sekali. Mungkin Mika hanya datang ketika aku jatuh. Dan sekarang Mika berhasil membangkitkanku. Kemudian pergi. 

Namun aku telah jatuh hati padanya. Aku yang telah hanyut oleh perasaanku sendiri. Mungkinkah Mika tidak menyukaiku? Ribuan pertanyaan menghampiriku begitu saja. Kepalaku mulai sakit tak tertahan. Aku meninggalkan ruanganku dan berlari ke kamar mandi. Aku menumpahkan semua air mataku. Sejenak berdiam diri dan membiarkan diri larut. Seketika aku lega. Aku mencuci wajahku dan menyekanya dengan beberapa lembar tissue. Aku kembali melangkah ke ruanganku dan memasang senyumku seperti biasa. ‘everything gonna be alright’ pikirku. 

Beberapa saat kemudian Mika berpamitan untuk pulang. Dan ini pertama kalinya Mika tidak menungguiku. Mika benar-benar menjauhiku. Aku terdiam di ruangan. Aku hanya bisa melihat punggung itu berlalu menjauh dari pandanganku. Bayangan itu semakin jauh dan mengecil.  Aku mulai menangis lagi. 

Jarak kebahagiaan dan kesedihan itu hanya berkisar antara bola mata hitam dan putih. Begitu tipis. Bahkan tidak bisa untuk disebut jarak. 

Petuah-petuah kecil yang tidak berarti selalu keluar dari mulutku untuk Tari sahabatku “apapun yang membuat kita bahagia lakukanlah. Selagi itu memang benar. Kita berhak untuk bahagia”. Tapi aku tidak mampu melakukannya untuk diri sendiri. Aku terlalu lemah. Aku tidak berani melalukan apa yang aku mau. Bahkan untuk sekedar memanggil nama orang itu saja aku tidak berani. Malangnya aku yang lebih pantas disebut sebagai pecundang. Payah!

to be continued . . .

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel