Memutar Film Lama
20 June 2017
Sabtu. Dimana hari ini adalah hari yang kami janjikan untuk melunasi semua hutang-hutang yang pernah terjanjikan. Kami berencana ngumpul pada pukul 14.00. Waktu sudah menunjukkan jam 12.00 siang. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Cuaca terasa begitu panas. Aku mulai memilih baju yang ingin aku pakai, yang nyaman dan tidak membuat gerah. Setelah membongkar lemari, akhirnya aku menemukan apa yang akan aku kenakan.
Previous: memories in 2 weeks
Meskipun saat ini Mika sedang menjauhiku, tetapi tetap Mika yang bertugas menjemputku. Sedangkan Tama menjemput Tari. Jam menunjukkan pukul 13.35. aku sudah siap. Dan aku menanti kedatangan Mika di teras rumah sembari mengobrak-abrik handphoneku. Aku membaca kembali chatinganku dengan Mika. Aku tidak pernah menghapusnya. Di saat aku merindukannya, aku kembali membacanya. Dan itu tidak pernah bosan. Bahkan berulang kali aku membacanya. Layaknya membaca komik Detective Conan kesukaanku.
“TIIN TIIN”
Mika mengagetkanku dengan suara klakson motornya.
“Iyaaa” jawabku setengah berteriak.
“ngapain Ca, koo senyum-senyum sendiri?” tanya Mika, penasaran.
“aah ooh, eng... engga” aku tergagap.
Aku menaiki motor Mika, duduk tepat di belakang punggungnya. Kembali terlihat olehku punggung dan telinga orang itu. Ntah kenapa dan sejak kapan aku memperhatikan daun telinganya. Seperti memiliki arti khusus bagiku, menjadi bagian favoriteku juga.
“Mika uda makan?” sambungku lagi ingin mencairkan suasana.
“Hehe uda Ca” jawabnya. Aku hanya terdiam tidak tau harus melanjutkan apa.
Sesampainya di tempat karoeke Tari dan Tama sudah tiba lebih dulu. Mika tidak pernah tau bahwa yang mengantarkan kami kesini adalah janji yang aku buat dulu bersama Tari dan Tama. Mika hanya mengikuti ajakan Tari. Sesuai janji, Tari dan Tama mulai bernyanyi dan aku hanya terdiam. Mereka menyanyikan sebuah lagu yang terdengar kurang kompak. Aku tertawa melihat mereka. Setidaknya mereka bisa meriuhkan suasana yang terasa dingin.
Selanjutnya Mika ikut bernyanyi, menyanyikan sebuah lagu klasik, mengingatkanku semua hal yang kami lewati. Sebuah senyuman mewarnai wajahku. Senyuman yang mewakili kesedihan dan kebahagiaan di saat yang sama.
Hari ini seperti ada yang kurang. Ada yang salah. Aku tidak berani mengajak Mika bicara, tetapi menjadi suatu kebahagiaan bagiku masih ada kesempatan melihatnya tertawa, tersenyum dan bercerita. Dari luar Mika tidaklah pernah berubah. Tetapi seperti ada sebuah tembok besar yang menghalangi antara aku dan Mika. Bahkan aku tidak mampu menatapnya.
Setelah beberapa saat kami di ruang karoeke, kami beranjak mencari makan di mall yang kami tempati. Aku dan Tari menuju ke sebuah restoran cepat saji yang berlambang seorang pria berjenggot yang mengenakan dasi pita itu. Sedangkan Tama dan Mika mencari tempat duduk kosong. Setelah menemukan tempat duduk Mika menyusuli kami mengantri. Tari kembali ke meja menemani Tama. Tinggallah aku dan Mika. Aku hanya tersenyum. Berbicara basa-basi dan aku lebih banyak diam dan menunduk.
“Kenapa Ca” tanya Mika.
“hmm. Ga kenapa-napa Mik” jawabku singkat. Aku merasa sedikit canggung untuk memulai obrolan. Sebuah kata yang ingin aku lontarkan tidak bisa terucap begitu saja.
Beberapa saat kemudian pesananpun datang. Aku bantu membawakannya.Tama dan Tari duduk bersebelahan. Mereka terlihat begitu mesra dan akrab. Mereka terus bercanda dan tidak pernah berhenti tertawa. Aku juga duduk bersebelahan dengan Mika, walaupun bersebelahan tetap saja seperti ada jarak yang menghalangi. Aku menikmati pesananku. Aku hanya memesan ice cream dan bento.
“tau gini kita seporsi berdua tadi Ca ya” kata Mika tiba-tiba yang membuatku kaget.
“Hmm. Hah?” aku kebingungan. Sepertinya Mika tidak bisa menghabiskan makanannya. Tetapi kenapa harus berdua denganku, pikirku. Bukankah sekarang Mika lagi jauhin Caca. Kan bisa aja dengan Tari ataupun Tama.
“ganjen banget siih Mika. Mesti banget sama Caca” ledek Tari dan Tama.
Mika tampak terdiam malu menahan tawa. Aku pun ikut terdiam dan saling memandang kemudian ikut tertawa konyol.
“Ca, bantuin Mika habisin dong” Pinta Mika. Aku kembali tersentak. Aku mengikuti perintah Mika dan mengambil kulit ayam yang sudah Mika kuliti.
“jangan yang itu Ca, bekas tangan Mika”
“ga apa-apa Mik, ini aja” aku meraih kulit ayam yang ada di piring Mika dan memasukkannya ke mulutku. Mika sedikit tercengang melirik ke arahku. Aku tidak mengerti, kenapa Mika melihatku begitu. Bukannya aku sudah melakukan apa yang Mika mau. Aku membantu Mika menghabiskan ayamnya. Mika terus melihatku hingga aku tersipu malu.
“serasa dunia milik berdua ya Tar” ejek Tama. Sontak kami tertawa berbarengan mendengar ucapan Tama. Aku tanpa sengaja menyemburkan minumanku ke celana Mika dengan refleks aku langsung mengelapnya.
“sorry Mik, ga sengaja” sesalku panik sambil mengelap celana Mika dengan kedua tanganku.
“ga apa-apa Ca” senyum Mika.
Hatiku kembali bergetar. sejenak pandangannya menusuk mataku. Terlihat fatamorgana dengan pembiasan-pembiasan cahaya yang membuat mataku tertahan. Dengan cepat aku menyadarkan diri, “ini uda ga sama Ca, sadarlah”. Aku kembali pada posisiku dan menghabiskan ice cream vanillaku. Setelah semuanya selesai makan, Tari mengajak kami ke taman. Aku hanya mengikuti ajakannya. Dengan malas aku melangkah. Namun tidak bisa kupungkuri bahwa aku juga bahagia bisa bermain bersama kembali. Walaupun kesedihan juga ikut serta menemani hari-hariku dan Mika. Sesampainya di taman, Tari tidak pernah jauh-jauh bersama Tama.Kemana-mana selalu lengket berdua. Layaknya permen karet yang lengket di bangku taman oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Begitulah mereka, pikirku. Mereka meninggalkan aku dan Mika yang berada jauh di belakang. Dan kini rasa canggung membajak aku sepenuhnya, menguasaiku. Aku hanya tidak ingin mengganggu Mika, sehingga aku berjalan selangkah lebih cepat darinya. Dan kini aku berada di depannya.
“Ca, tunggu. Jangan cepet-cepet” pinta Mika sedikit berteriak yang membuatku berhenti seketika.
“hah i..iya sorry. Mika ga cape?” tanyaku tanpa sadar. Seolah-olah pertanyaan itu sudah menjadi rutinitasku setiap kali aku bersama Mika.
Mika tersenyum lebar mendengar pertanyaanku “memang Caca sendiri ga cape?” balas Mika.
“Hehehe. Koo balik nanya? Ya uda kita istirahat disitu yoo” aku menunjuk bangku taman yang kosong.
Aku duduk terdiam. Keheningan mulai menghampiri. Mika yang tau tentang kondisi yang tidak mengenakkan itu mulai bercerita tentang ibunya dan lain-lain. Aku hanya terdiam mendengarkan sesekali aku ikut menghiburnya. Mika terlihat begitu kesepian disaat bercerita tentangnya. Sesaat Mika terdiam ketika bercerita. Aku bisa membaca raut kesedihan yang terpancar dari guratan-guratan kecil di wajahnya.
“kalo ada apa-apa, kasih tau Caca. Mungkin Caca bisa bantu” kataku polos.
Mika terdiam menatapku lama. Aku menunduk dan memejamkan mata. Lama begitu lama.
“Caaa... kenapa?”
“nggak Mik. Caca ga kenapa-napa”
Tari dan Tama menyusuli kami, ikut bergabung. Tiba-tiba ada seekor kucing berbulu coklat datang mendekat.
“tangkepin dong” perintahku spontan.
Mika menangkap kucing tersebut dan menggendongnya.
“aaah Caca aja, sini-sini” tanpa sadar aku merengek. Mikapun menyerahkan kucing tersebut dan tertawa.
“duuh kalian, parah banget” ejek Tama.
“iya ni” sambung Tari.
Kami tidak memperdulikan. Aku menggendong kucing tersebut dan Mika memainkan mulutnya. Kucing itu terlihat begitu jinak dan tidak mencakar sama sekali. Aku semakin gemas dan mengunyel-ngunyel perutnya.
“kalian uda kaya gendong anak aja. Yoo la Tar kita pergi, biarin aja mereka” sambung Tama lagi. Aku dan Mika tertawa.
“Caca jadi ingin adopsi deh. Disini Caca belum punya teman(kucing)”
“bawa pulang kita Ca?” tanya Mika lembut.
“iya bole bole” anggukku semangat.
“terus gimana kalo ada yang punya? Kayanya kucing ini ada yang punya. Bersih terus gendut, jinak juga kan”
“iya siih. Hmm ya uda deh. Ga usa aja hehehe” spontan aku tertunduk lemas.
“hehe nanti ya kita cari yang lain aja” semangat Mika yang seolah tau kekecewaanku.
“Iya Mik” dengan berat hati aku melepaskan kucing tersebut. Aku berlalu meninggalkan kucing itu. Aku memandangnya untuk yang terakhir kali. Sebuah kedipan perpisahan diberikan oleh kucing itu dan aku membalas dengan kedipanku.
“bye” ucapku melambaikan tangan.
Hari ini terasa begitu aneh. Setiap hal yang kami lewati bersama tetap tidak merubah pendirian Mika untuk menjauhiku. Mika tetap enggan menghubungiku. Aku hanya membuka galery handphone dan menggeser geser foto yang kami ambil di taman tadi. Mika terlihat begitu senang di foto tersebut tetapi aku tidak tau apa yang sebenarnya dialami.
to be continued . . . .