No Laugh and No Love
03 July 2017
30
no laugh and no love |
Minggu, menjadi hari yang dinanti-nantikan oleh siapa saja. Dimana hari minggu bisa bangun lebih siang dan bebas bermalas-malasan. Harinya berlibur, bersantai dan berkumpul bersama orang-orang terdekat. Aku, Tari, Mei, Tama, Mika dan Tio berencana berlibur ke pantai. Pantai yang pernah kami datangi di kala itu. Tentu saja kali ini akan berbeda. Aku tidak diboncengi oleh Mika, melainkan Mei yang memboncengiku. Tentunya Tama bersama Tari dan Mika memboncengi Tio, laki-laki yang tidak pernah terlihat murung itu.
previous: Memutar Film Lama
“kenapa Caca ga sama Tio aja ato sama Mika, jadi berpasang-pasangan gitu” saran Tari yang lebih terlihat seperti sebuah lelucon yang memojokkanku dan Mika.
Mika yang mendengar itu langsung menancap gas sepeda motornya tanpa membalas ucapan Tari dan seolah-olah dia tidak setuju sama sekali dengan usulan tersebut. Kontan yang lainnya langsung tercengang dan tertawa kecil. Aku masih terdiam bingung. Kenapa Mika bertingkah seperti itu. Apakah Mika tidak ingin denganku atau aku tidak boleh diboncengi Tio? Aku mulai menerka-nerka sikap Mika yang tidak berakhir dengan sebuah jawaban. Kutelan pertanyaan itu seorang diri.
Perjalanan ke pantai menempuh waktu puluhan menit. Riak ombak yang bergulung-gulung saling mengejar mulai terdengar. Jeritan-jeritan kecil menyahuti dari ujung ke ujung. Pantai memang mengundang jutaan umat untuk memamerkan pesonanya. Hamparan laut dan langit yang luas, seketika dapat menenangkan setiap jiwa yang riuh. Menghilangkan penat dan meruntuhkan kegalauan yang menyakiti. Suara deburan ombak mampu memecahkan kesunyian. Namun hal itu tidak terjadi padaku hari ini. Justru aku merasa sangat kesepian di tengah keramaian seperti ini. Aku hanya memandangi langit kosong dan mendengar nyanyian ombak seolah mengerti apa yang aku alami.
Kami menuju pondok kecil. Dan mulai membuka bekal masing-masing. Mika memilih duduk di sebelahku. Ada rasa canggung yang membatasiku untuk berbicara dengan Mika. Aku memilih untuk berdiam diri. Mika terlihat kerepotan membuka bekalnya. Tadinya aku berniat untuk tidak memperdulikannya. Tetapi yang lain juga tidak ada yang memperhatikan. Kenapa harus aku yang menyadari hal-hal begini siih, bisikku dalam hati. Mika terus mencoba membuka bekal yang dia beli di perjalanan kemari. “Haaah”, aku mendesah dan akhirnya membantu membukakan bekalnya.
“makasi Ca” ucapnya tulus.
Aku membalas senyum. Tari dan Tio terlihat gaduh saling mengisengi yang lain. Mereka terlihat sangat menikmati hari liburnya. Aku memperhatikan Mika yang justru lebih banyak diam dan murung dalam kesendiriannya. Lagi-lagi aku yang menyadari Mika merasa terasingi. Aku sangat mengerti hal itu. Berada di keramaian di kala hati sedang gundah, rasanya seperti tidak ada seorangpun yang mengasihi maupun mengerti apa yang kita rasakan. Bahkan hal itu dapat membuat kita merasa tidak ada yang peduli dan menyadari tentang keberadaan kita. Aku memberanikan diri membuka pembicaraan. Aku mencoba untuk melakukan sesuatu agar Mika dapat terhubung dengan keadaan sekitar.
“tadi Mika kenapa? Koo kaya kesal gitu. Karna ga bisa main tamiya ya? Tadinya hari ini Mika rencananya main tamiya kan?” aku tau hari ini ada turnamen tamiya di tempat biasa Mika bermain.
“iya siih Ca. Tadinya Mika berniat untuk main Tamiya sebentar sebelum ke pantai, tapiii.. ya udalah..” Mika terlihat sedikit kesal.
“hmm, seharusnya kamu tidak menjauhiku Mik, jadi aku bisa temenin kamu main tamiya” tapi kata-kata itu hanya terucap di dalam hatiku saja.
Aku hanya membalas “ya uda nikmati aja dulu apa yang ada di depan Mika. Nanti sepulang dari sini kan bisa lanjut main tamiya” aku mencoba menenangkan.
“Iya Ca” Mika tersenyum.
Liburan kali ini aku tidak menikmatinya seperti dulu. Aku lebih banyak terdiam. Begitu juga dengan Mika.
Lama. Terasa lama. Langit mulai menunjukkan warna senjanya. Matahari mulai menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat. Terlihat kombinasi warna jingga dan biru yang mulai menhilang. Terlihat begitu indah. Aku berharap rasa sepiku tenggelam seiring matahari yang ikut terbenam. Kami mulai membereskan perlengkapaan masing-masing dan bergegas untuk kembali.
To be continued . . .