Terminal of Love
23 August 2017
37
Terminal of Love |
Hari ini aku berpuasa menggantikan puasa bolongku di bulan Ramadhan. Mika sudah kembali dari kota neneknya. Dan menyusuliku di ruangan membawakan makanan buatan sang nenek.
“thanks Mika” ucapku. Aku menyimpannya.
“koo ga dimakan Ca?” tanyanya.
“Caca lagi puasa Mik”
“Ooh...”
Tari dan Mei juga berada di kantorku. Mika pamit duluan untuk beristirahat di rumah. Malam ini Tari berencana pulang kampung karna ada keperluan mendadak.
Mika menghubungiku...
Mika: “Ca, ntar malam mau nganterin Tari ke terminal ga?”
Caca: “Hmm, bole. Tapi Mika temenin Caca buka puasa dulu gimana?” pintaku.
Mika:“Bole”
Sorenya Mika menjemputku. Kami menuju ke tempat makan untuk berbuka puasa. Suasana dikala itu diguyur hujan. Aku suka sekali. Aku terdiam mengadah ke langit dan menikmati tetesan hujan yang jatuh mengenai wajahku. Diiringi dengan hembusan angin yang membawa wangi tanah yang tandus dibasahi air hujan. Wanginya bisa membuatku tenang.
“Ca” panggil Mika.
Aku tidak mendengar. Tiba-tiba Mika menutup kaca helmku, seketika aku kaget dan tertegun dari dramaku.
“Caa, ntar sakiiit” ucap Mika setengah berteriak. Aku hanya menyeringai konyol.
Kamipun tiba di sebuah tempat makan yang cukup asri. Tiba waktu berbuka kami melaksanakan solat magrib terlebih dahulu. Kemudian setelah itu kami menyantap sajian buka puasa. Tama datang menyusul ikut untuk memberi kejutan untuk Tari. Tama terlihat begitu berantakan. Badannya basah kuyup diguyur hujan.
“Brrrr. Dingin banget Ca. Coba ada Tari. Minta peluk Tari pasti langsung hangat” celoteh Tama, dia terlihat menggigil. Tama mengambil minumanku tanpa sungkan dan langsung menghabiskannya. Aku dan Mika hanya tercengang melihatnya dan ikut tertawa.
”eh, kalian uda lama disini? Kalian uda jadian belum siih? Asik main kuciiing aja. Duuu duuh” sambung Tama melihat kami bermain kucing yang menghampiri aku dan Mika. Lagi-lagi kami hanya tertawa setelah saling pandang.
Selepas berbuka puasa kami menuju terminal. Mika menyeka tempat duduk motornya yang masih basah karena hujan dengan celana yang melekat di badan.
“duuh Mik, segitunya banget” ledek Tama. Aku hanya tersipu. Mika tidak memperdulikan ledekan Tama dan langsung menancap gas menuju terminal.
Kami menanti kedatangan Tari tanpa sepengetahuannya. Tama terlihat begitu tidak tenang karena dia sudah punya janji jam 21.00 dengan temannya untuk bermain futsal. Sedangkan jam sudah menunjukkan 20:51. Mika meraih helmku dan memegangnya kemana-mana.
“koo dipegang terus?” tanyaku heran.
“hehe ga apa apa Ca”
“duuh, Tari dimana siih. Aku buru-buru gimana ini” gelisah Tama.
“ntar lagi juga nyampe” aku mencoba menenangkan.
“Hmm, Mik” panggilku.
“Ya Ca”
“kalo Mika bakal milih mana, nganterin orang yang Mika sayang atau main tamiya?”.
“Mika bakal memilih nganterin orang yang Mika sayang Ca. Soalnya kalo nganterin kaya gini kan ga bisa lain kali. Tapi kalo main tamiya kan bisa lain kali”.
“hmmm”. gumamku
“itu Tari” tunjukku kearahnya yang celingukan sana sini.
Kami bertiga kompak meneriaki nama Tari “eh kalian ngapaaiiin?” tanyanya kaget setengah berteriak.
“kejutaaan” pelukku.
“duuuh Kalian baik banget siih. Aku jadi terharu”.
“Hehehe”.
Waktu yang tersisa tidak banyak. Buspun tiba. Para penumpang mulai memadati bus. Tari hendak menaikinya juga setelah kami selesai berfoto-foto dan sekedar bercanda sesaat. Aku memberikan pelukanku. Taripun berpamitan. Tama yang dari tadi kelihatan begitu tergesa-gesa langsung meninggalkan terminal juga aku dan Mika.
Kami menuju motor Mika, yang berada di seberang jalan. Tanpa sadar ada sebuah sepeda motor melaju kencang kearahku. Aku tidak memperhatikan. Tiba-tiba lenganku ditarik Mika. Aku kaget. Mika menarik lenganku kuat, hingga badanku terbawa ke arahnya.
“hah? Hmm?” aku tersipu polos dan masih kaget.
“Hati-hati Ca” ucap Mika lembut.
Mika menjulurkan tangannya.
“ayo, sini”
Aku malu untuk menyambut uluran tangan itu. Aku memutuskan menggenggam lengan bajunya. Mika tertawa melihat keluguanku. Tidak ada habisnya malam itu Mika membuatku tersipu. Mika membuka jaketnya menyuruhku memakainya.
“ini Ca, dipake. Dingin” sodor Mika. Wajahnya terlihat bersemu merah jambu. Mika terlihat malu-malu.
“ga usah Mik. Mika aja yang pake. Caca ga apa-apa” aku menolak lembut.
“nanti Caca sakit” rengeknya.
“ga apa-apa Mik. Mika lebih membutuhkan karna Mika yang bawa motor. Mika yang paling banyak kena angin. Caca cuma duduk di belakang Mika, jadi yang ngelindungin Caca itu Mika”.
“Hmm, Ok deh, alasannya di terima” ucap Mika akhirnya mengalah.
Mika mengantarku pulang. Udara begitu dingin. Namun aku tidak merasakan dinginnya malam itu. Di depanku saat ini sudah ada lentera yang menyala begitu hangat. Aku memandangi langit malam yang begitu bersih. Bulan terbentuk begitu bulat dan cahayanya sempurna. Mika kembali bertanya “dingin Ca?”....
Previous: 23:05 pm
to be continued . . .